TransSulteng-Dr. Intje Yusuf, S.Sos.,MPWP Kontrak sosial pada dasarnya adalah kesepakatan bersama untuk hidup dalam aturan yang disetujui demi kebaikan kolektif.
Rousseau dalam The Social Contract menulis, “Man is born free, and everywhere he is in chains, Artinya, kebebasan individu dibatasi oleh aturan bersama yang justru memberi ruang bagi kehidupan sosial yang lebih adil.
Di Indonesia, kontrak sosial bukan sekadar teks konstitusi, melainkan nilai yang mengikat interaksi antara pemerintah dan rakyat.
Komunikasi publik adalah penopang agar kontrak sosial tetap berjalan. Habermas menekankan pentingnya _public sphere_ sebagai ruang dialog kritis antara pemerintah dan warga. Tanpa keterbukaan informasi, masyarakat kehilangan rasa percaya. Transparansi bukan sekadar kewajiban formal, tetapi kebutuhan untuk memperkuat legitimasi kekuasaan di mata rakyat.
Komunikasi publik sejati adalah dialog, bukan monolog. Pemerintah perlu lebih banyak mendengar, bukan hanya berbicara. Dalam demokrasi modern, aspirasi masyarakat adalah energi. Jika suara warga diabaikan, kontrak sosial perlahan kehilangan maknanya. Oleh karena itu, keterlibatan publik dalam perumusan kebijakan harus dipandang sebagai bagian dari kontrak sosial yang hidup.
Ansell & Gash (2007) menekankan, “_collaborative governance requires trust-building and shared responsibility_.” Kolaborasi lahir dari komunikasi publik yang sehat. Ketika ada rasa saling percaya, maka pemerintah, swasta, komunitas, dan individu bisa bekerja sama menyelesaikan persoalan bersama. Kolaborasi sosial adalah bukti nyata kontrak sosial dijalankan dalam praktik sehari-hari.
Dalam konteks potret Indonesia, kolaborasi sosial semakin relevan. Pemerintah tidak bisa sendirian menghadapi krisis iklim, pandemi, atau transformasi digital. Kolaborasi dengan masyarakat sipil, akademisi, dan sektor bisnis adalah jalan keluar. Seperti kata Bung Karno, “Gotong royong adalah jiwa bangsa kita.” Inilah kolaborasi sosial dalam wujud paling otentik.
Era digital menghadirkan peluang sekaligus tantangan. Media sosial bisa menjadi ruang partisipasi, tetapi juga ladang polarisasi dan hoaks. Jika dibiarkan, kualitas dialog publik merosot dan kontrak sosial melemah. Maka, literasi digital dan etika komunikasi menjadi fondasi baru agar ruang publik digital tetap sehat.
Untuk memperkuat kontrak sosial, kita perlu membangun budaya keterbukaan. Pemerintah harus transparan, masyarakat harus kritis namun solutif, dan media harus menjadi penghubung informasi yang adil. Budaya keterbukaan inilah yang akan mencegah jurang komunikasi dan memperkuat kepercayaan sosial.
Kontrak sosial, komunikasi publik, dan kolaborasi sosial adalah tiga pilar yang tak bisa dipisahkan. Jika dijalankan bersama, kita akan memiliki masyarakat yang lebih adil, solid, dan tangguh menghadapi tantangan zaman.
Di era digital, tantangan besar justru bisa menjadi peluang besar bila kita bersatu dalam semangat dialog dan kolaborasi.-Palu, Agustus 2025 – Penulis adalah ASN di Dinas Komunikasi, Informatika, Persandian dan Statistik Provinsi Sulawesi Tengah.