TransSulteng - Palu - Konflik agraria masih menjadi persoalan yang tiada solusi penyelesaiannya di berbagai daerah di Sulawesi Tengah. Konflik itu melibatkan perusahaan-perusahaan Pertambangan dan Industri Nikel juga pemerintah, baik Pemerintah Daerah, Provinsi Sulteng dan Pemerintah Pusat Nasional. Salah satunya yang terbaru terjadi di Kawasan Industri PT. Indonesia Huabao Industrail Park (IHIP), yang melakukan praktik kriminalisasi terhadap 4 warga yang mempertahankan tanah.(7/7/24)
Proses pembangunan Kawasan Industri Nikel ini dikerjakan oleh PT. IHIP dan PT. Bahosuo Taman Industri Investment Group (BTIIG) dengan target luasan 20.000 ha dengan memakai dua skema, yaitu tahap satu 1.200 ha akan dibebaskan dan tahap dua 18.800 ha. proyek ini beroperasi di Kecamatan Bungku Barat, Kabupaten Morowali, yang meliputi Desa Topogaro, Wata, Tondo, Ambunu, Umpanga, Larobenu dan Desa Wosu, proyek ini juga diklaim sebagai wujud dari percontohan kerja sama internasional dengan melibatkan modal dari Tiongkok, dengan skema One Belt, One Road Inisiative.
Sejak 11 Juni 2024, masyarakat Desa Topogaro, Kecamatan Bungku Barat mengambil sikap tegas dengan menutup akses perusahaan yang menjadikan tanah warga desa menjadi lahan koridor PT IHIP. Aksi ini dimulai dari pernyataan Legal Eksternal PT IHIP, yang terpublish melalui video, dimana menyatakan bahwa terdapat MoU antara pihak perusahaan dan Pemerintah Daerah Morowali, yang ditandatangani berkaitan dengan pertukaran asset daerah dengan proyek penimbunan bandara Morowali.
Perusahaan juga mengkalim hak atas Jalan Desa Topogaro yang kemudian telah diperuntukan untuk perusahaan telah disepakati oleh semua pihak. Namun, ketika pemerintah desa meminta untuk pembuktian dengan salinan dokumen antar kedua belah pihak, perusahaan mengelak dan tidak memberikan dokumen perjanjian MoU PT. IHIP dan Pemda Morowali.
Selanjutnya pada 20 Juni 2024, lima orang warga asal Desa Tondo dan Topogaro dilaporkan ke pihak Polda Sulawesi Tengah atas aksi yang mereka lakukan pada tanggal 11 Juni 2024. Sebelumnya PT. IHIP melakukan Somasi, somasi pertama dilakukan pada tanggal 11 Juni 2024 dengan nomor surat 10/BTIIG-Legal/VI/2024 pada empat orang yaitu Rahman Ladanu, Wahid/Imran, Hamdan, dan Safaat sebelum menerima panggilan Polda Sulteng dengan nomor surat B/556/VI/2024/Diskrimsus.
Somasi kedua dilakukan pada tanggal 23 Juni 2024 dengan nomor surat 14/BTIIG-LEGAL/VI/2024, perihal “Tindakan Pemalangan Yang Mengakibatkan Berhentinya Aktivitas (Investasi) PT. BTIIG”, lima orang tersebut ialah Moh. Haris Rabbie, Makmur Ms, Abd. Ramdhan, Hasrun, dan Rifiana M. warga Desa Ambunu.
“Praktik-praktik seperti ini tidak boleh dibiarkan secara terus menerus, harus dilawan!!, tindakan dengan mensomasi juga melaporkan rakyat adalah upaya pembungkaman terhadap rakyat yang berjuang hak atas tanahnya. Pemerintah jangan tutup mata terus, mau sampai kapan rakyat terus menjadi korban yang juga pemicunya adalah pemerintah itu sendiri,” tegas Eva Bande, Aktivis Agraria.
Eva Bande juga menuntut, pertama Komnas HAM RI untuk segera melakukan perlindungan terhadap masyarakat yang berjuang atas tanah, dan aktivis pejuang lingkungan, juga lima orang yang telah dilaporkan ke pihak kepolisan. Kedua, terhadap DPR RI untuk segera melakukan evaluasi terhadap operasi perusahaan pertambangan dan industrinya di Morowali dan kabupaten lainnya di Sulteng. Ketiga terhadap Pemerintah Indonesia, Presiden Jokowi, untuk segara mengevaluasi instansi dan jajarannya dalam mengontrol proyek-proyek pertambangan multi nasional ini, selanjutnya adalah Kementrian Agraria, untuk segera berbenah, yang dimana konflik atas tanah rakyat dan perusahaan di Sulteng kian bertambah dan tak ada proses ataupun progress penyelesainnya, juga terhadap Gubernur Sulteng, untuk tidak tutup mata melihat rangkaian peristiwa konflik agraria yang sangat tinggi di Sulteng.
"Yang terakhir terhadap Kapolri untuk tidak mengkriminalisasi Pejuang Agraria dan Lingkungan serta segera lakukan evaluasi terhadap bawahannya untuk lebih professional dalam menjalankan mandat rakyat dengan tidak berpihak ke perusahaan," tutup Eva Bande. (DK)