TransSulteng-Bogor - Sehubungan dengan pemberhentian operasional Pondok Pesantren Salafiyah Al-Umm Al-Warjayani dengan cara memulangkn para santri kerumah masing-masing pada hari senin, 24 Pebruari 2025, kami menyampaikan keberatan yang mendalam.
Adapun alasan keberatan kami adalah sebagai berikut:
1. Tidak Adanya Klarifikasi Sebelum Pengerahan Massa
Kami kecewa atas laporan yang masuk kepada Bapak Gunawan Sutedja selaku Ketua RT 08/07 Warujaya Kec. Parung Kab Bogor, terkait isu internal pesantren kami. Sebelum pengerahan massa untuk berdemo, pihak terkait tidak melakukan konfirmasi dan klarifikasi langsung kepada kami.
Seharusnya, sebelum mengambil langkah yang dapat menimbulkan keresahan dan mengganggu psikologis santri serta keluarga kami, diperlukan tabayyun (klarifikasi), misalnya dengan mengirimkan surat pemberitahuan atau mengutus Babinsa atau Babinkamtibmas, agar tidak terjadi kesalahpahaman atau fitnah.
2. Pertemuan Tanggal 24 Bersifat Mendadak
Keputusan penghentian operasional pesantren diambil dalam pertemuan mendadak tanpa pemberitahuan resmi kepada kami.
Hal ini menyebabkan kepanikan dan ketakutan di kalangan santri, yang seharusnya menjadi perhatian utama.
3. Pelanggaran terhadap Hak Pendidikan
Menghentikan proses belajar-mengajar santri merupakan bentuk pelanggaran terhadap Undang-Undang, di mana negara menjamin hak setiap warga negara untuk mendapatkan pendidikan.
4. Forkopimcam Seharusnya Menindak Oknum, Bukan Menutup Pesantren
Pihak Forkopimcam seharusnya mengusut dan menindak tegas pihak-pihak yang memancing kegaduhan dan provokasi, bukan malah mencabut hak santri untuk belajar.
5. Kasus Dugaan Pelecehan Sudah Ditangani Pihak Berwajib
Kasus dugaan pelecehan yang terjadi sudah ditangani pihak kepolisian,Tidak adil jika satu kasus dijadikan alasan untuk menutup pesantren yang menaungi banyak santri.
6. Preseden dalam Dunia Pendidikan
Banyak kasus pelecehan terjadi di sekolah formal, namun yang dihukum adalah oknum pelaku, bukan lembaga pendidikannya.
Hal yang sama seharusnya berlaku bagi pesantren kami.
7. Jika Alasan Penghentian adalah Perizinan, Maka Pemerintah Harus Membantu
Jika alasan penghentian adalah karena belum adanya perizinan, pemerintah seharusnya membantu pesantren dalam pengurusan izin, bukan malah menghentikan operasionalnya. Pendidikan adalah tanggung jawab negara, bukan hanya tanggung jawab pesantren.
8. Penolakan Warga Harus Memiliki Dasar yang Jelas
Jika penghentian operasional didasarkan pada penolakan warga, maka perlu ditelusuri akar permasalahannya. Jika hanya karena dugaan kasus tertentu atau masalah perizinan, maka tidak ada dasar hukum yang kuat untuk menutup pesantren.
9. Perbedaan Pemahaman Agama Bukan Alasan Sah untuk Penutupan
Jika alasan penolakan adalah perbedaan pemahaman agama, hal ini bertentangan dengan nilai demokrasi dan kebebasan beragama yang dijamin oleh konstitusi. Bahkan dalam konteks perbedaan agama pun negara mengedepankan toleransi, apalagi dalam sesama agama.
10. Perbedaan Pandangan dalam Ajaran Agama Bukan Bentuk Intoleransi
Perbedaan pemahaman agama adalah hal yang wajar. Intoleransi baru terjadi jika ada pemaksaan, penghinaan, fitnah, atau kekerasan.
Jika ada pihak yang menganggap sesuatu sebagai bid’ah, dan pihak lain tidak, maka seharusnya dikembalikan ke keyakinan masing-masing tanpa paksaan dan penghinaan.
11. Yang Seharusnya Dibina adalah Pihak yang Intoleran, Bukan Pesantren yang Menjadi Korban
Jika ada pihak-pihak yang bersikap intoleran terhadap pesantren kami, maka mereka yang seharusnya dibina, bukan malah pesantren yang harus ditutup.
Ttd.
Pemilik dan Pengasuh Pesantren.Achmad Sudrajat Abu Syamiel.(Red)