TransSulteng-Parigi moutong – Anggota Komisi IV dari Fraksi Partai Demokrat DPRD Kabupaten Parigi Moutong, H. Sami, meminta pemerintah daerah provinsi maupun parigi, segera merevisi Rencana Tata Ruang Wilayah guna mengakomodasi masuknya investor dalam Izin Pertambangan Rakyat (IPR).
hal ini menyangkut hajat hidup orang banyak khususnya wilaya parigi moutong,kalau orang datang berinvestasi ke wilaya kami pastilah dampaknya luar biasa,” sebut Sami saat menanggapi pernyataan dari Kepala Bidang Tata Ruang Dinas PU Parigi Moutong.(19/05/2025).
Ia juga berpendapat bahwa perubahan RTRW diperlukan agar masyarakat memperoleh kepastian hukum dalam menjalankan kegiatan pertambangan rakyat di wilaya parigi moutong,yang sering melanggal melanggar aturan.
“Karena ini bukan hal baru Di mana-mana terjadi polemik. Ini karena keterlambatan RTRW, jadi tidak bisa menyalahkan siapa-siapa,” katanya.
Ia Juga menilai bahwa keterlambatan revisi RTRW menghambat proses perizinan IPR dan berdampak langsung pada kesejahteraan masyarakat wilaya parigi moutong.
“Olehnya RTRW ini Harus secepatnya kita selesaikan. Karena semakin lama ditunda, tidak ada yang bisa melarang pengolahan pertambangan ini,” tambahnya.
“Jadi RTRW harus didorong agar cepat selesai, supaya masyarakat maupun investor bisa berbuat sesuai aturan. Kalau terlalu lama, saya yakin polemik akan semakin berkembang.”pungkasnya.
Namun demikian, Di pandangan Sami ini dinilai bertentangan dengan prinsip dasar pengelolaan IPR.
swmentara,Berdasarkan Pasal 70A Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, pemegang IPR dilarang memindahtangankan izin kepada pihak lain, termasuk kepada investor besar.
Selain itu, menurut Pasal 62 ayat (1) PP Nomor 96 Tahun 2021, permohonan IPR hanya dapat dilakukan pada wilayah yang telah ditetapkan sebagai Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR).
Prinsip IPR sendiri dirancang untuk dikelola oleh masyarakat lokal secara kecil-kecilan dengan investasi terbatas, bukan untuk skala industri atau korporasi,jelas nya.
IPR bertujuan utama untuk memberdayakan masyarakat lokal dan menekan angka tambang ilegal, bukan membuka pintu untuk cukong atau kepentingan modal besar tutupnya.
Dengan adanya dorongan perubahan RTRW agar IPR dapat mengakomodasi investor, muncul kekhawatiran bahwa semangat pemberdayaan rakyat justru berpotensi digeser oleh kepentingan bisnis yang lebih besar, dan membuka celah penyalahgunaan izin pertambangan rakyat.