TransSulteng-Dampak aktivitas Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) di Desa Kayuboko, Kecamatan Parigi Barat,Kabupaten Parigi Moutong (Parimo) semakin terasa berat.
Banjir bercampur lumpur menerjang pemukiman warga di Desa Air menyisakan keluhan mendalam dari masyarakat yang setiap hari harus menghadapi ancaman bencana lingkungan.
Ketua Himpunan Pemuda Akhairat (HPA) Parimo, Ridwan, angkat bicara menyoroti persoalan ini.
Ia menilai Pemerintah Daerah Parimo lalai dalam menangani maraknya PETI yang sudah lama beroperasi.
“Akibat lambat ditertibkan, lahan tambang berakibat fatal bagi masyarakat,” tegas Ridwan, Jumat (12/09).
Menurutnya, dampak kerusakan lingkungan akibat tambang ilegal sudah nyata terlihat.
Sungai yang dulunya jernih kini dipenuhi lumpur, bahkan tanggul penahan air tak lagi mampu menahan derasnya banjir.
“Bukan hanya sawah dan kebun yang rusak, tapi rumah-rumah warga ikut terendam. Ini jelas bencana yang lahir dari pembiaran,” tambahnya.
Ridwan mengingatkan bahwa setiap musim hujan, desa-desa di sekitar Kayuboko selalu menjadi langganan banjir.
Ia menyebut, banjir bukan semata karena curah hujan tinggi, melainkan juga akibat rusaknya daerah tangkapan air akibat aktivitas tambang.
“Ini bukan bencana alam murni, ini bencana karena ulah manusia yang dibiarkan tanpa pengawasan,” ujarnya.
Warga setempat juga mengaku resah dengan kondisi yang terus berulang.
Salah satu warga Desa Air Panas, Hamsah, mengatakan bahwa banjir lumpur membuat akses jalan putus dan merusak lahan pertanian mereka.
“Kami sudah sering teriak minta solusi, tapi sampai sekarang belum ada tindakan nyata. Kalau begini terus, kami yang jadi korban,” keluhnya.
Kondisi ini, menurut Ridwan, harus segera dijawab pemerintah dengan langkah konkret.
Ia menegaskan, tidak cukup hanya dengan imbauan, melainkan harus ada tindakan tegas menertibkan tambang ilegal.
“Kalau tidak, maka masyarakat akan terus menanggung derita yang sama setiap tahunnya,” kata dia.
Ridwan bahkan mempertanyakan keseriusan pemerintah daerah dalam melindungi warganya.
Ia menduga, ada kemungkinan pembiaran karena adanya kepentingan tertentu yang membuat penertiban PETI di Kayuboko berjalan lambat.
“Apakah mata mereka sudah tertutup oleh sesuatu, hingga tak lagi melihat derita rakyat yang sesungguhnya?” tanyanya.
Lebih jauh, ia mengingatkan bahwa dampak banjir bisa semakin parah jika tidak ada solusi konkret.
Longsor, banjir bandang, dan hilangnya sumber air bersih bisa menjadi bencana lanjutan.
“Siapa yang akan bertanggung jawab ketika banjir bandang melanda? Jangan tunggu korban jiwa baru kalian bergerak,” tegas Ridwan.